Cindua Mato Dongeng atau Sejarah ?


Pada zaman dahulu kala hiduplah  seorang ratu bernama Bundo Kanduang, yang konon diciptakan bersamaan dengan alam  semesta ini (samo tajadi jo alamko). Dia adalah timpalan Raja Rum, Raja Cina dan  Raja dari Laut. Suatu hari Bundo Kanduang menyuruh Kembang Bendahari, seorang  dayangnya yang setia, untuk membangunkan putranya Dang Tuanku, yang sedang tidur  di anjungan istana. Kembang Bendahari menolak, karena Dang Tuanku adalah Raja  Alam, orang yang sakti. Bundo Kanduang lalu membangunkan sendiri Dang Tuanku,  dan berkata bahwa Bendahara sedang mengadakan gelanggang di nagarinya Sungai Tarab,  untuk memilih suami buat putrinya. Karena gelanggang tersebut akan dikunjungi  banyak pangeran, marah dan sutan, dan putra-putra orang-orang terpandang, Dang  Tuanku dan Cindua Mato seharusnya ikut serta di dalamnya. Bundo Kanduang memerintahkan  Dang Tuanku untuk menanyakan apakah Bendahara akan menerima Cindua Mato sebagai  suami dari putrinya, Puti Lenggo Geni. Setelah menerima pengajaran tentang adat  Minangkabau dari Bundo Kanduang, Dang Tuanku, Cindua Mato dan para pengiringnya  berangkat ke Sungai Tarab.

Di Sungai Tarab mereka disambut oleh Bendahara. Dang Tuanku    bertanya apakah Bendahara bersedia menerima Cindua Mato yang “bodoh dan    miskin” sebagai menantunya. Sebenarnya Cindua Mato adalah calon menantu    ideal, dan karena itu lamaran tersebut diterima. Dang Tuanku kemudian berbincang-bincang    dengan Bendahara, yang merupakan ahli adat di dalam Basa Ampek Balai, membahas    adat Minangkabau dan apakah telah terjadi perubahan dari adat nenek moyang.    Menurut Bendahara prinsip-prinsip yang diwariskan dari perumus adat Datuk Ketemanggungan    dan Datuk Perpatih Nan Sebatang tetap tak berubah.

Sementara itu Cindua Mato mendengar pergunjingan di pasar bahwa    Puti Bungsu, tunangan Dang Tuanku, akan dinikahkan dengan Imbang Jayo, Raja    Sungai Ngiang, sebuah negeri di rantau timur Minangkabau. Menurut kabar itu,    di sana tersebar berita bahwa Dang Tuanku diasingkan karena menderita penyakit.    Puti Bungsu adalah putri Rajo Mudo, saudara Bundo Kanduang, yang memerintah    sebagai wakil Pagaruyung di Ranah Sikalawi, tetangga Sungai Ngiang. Ketika menemukan    bahwa cerita ini disebarkan oleh kaki tangan Imbang Jayo, Cindua Mato bergegas    mendesak Dang Tuanku untuk meminta permisi pada Bendahara dan kembali ke Pagaruyung.    Gunjingan seperti itu adalah hinaan kepada Raja Alam.

Di Pagaruyung Cindua Mato menceritakan Dang Tuanku dan Bundo    Kanduang apa yang didengarnya di pasar. Bundo Kanduang naik pitam, namun sebelum    bertindak dia mesti berunding dulu dengan Basa Ampek Balai. Dalam rapat-rapat    berikutnya para menteri tersebut berusaha menengahi Bundo Kanduang pada satu    pihak, yang tak dapat menerima hinaan dari saudaranya, dan Dang Tuanku beserta    Cindua Mato pada pihak lain, yang menganjurkan kesabaran. Pertemuan tersebut    berakhir dengan kesepakatan bahwa Cindua Mato akan berangkat sebagai utusan    Bundo Kanduang dan Dang Tuanku ke Sikalawi, dengan membawa Sibinuang, seekor    kerbau sakti, sebagai mas kawin untuk Puti Bungsu.

Dengan menunggang kuda sakti, Si Gumarang, dan ditemani kerbau    sakti, Si Binuang, Cindua Mato berjalan menuju Ranah Sikalawi. Di perbatasan    sebelah timur, di dekat Bukit Tambun Tulang, dia menemukan tengkorak-tengkorak    berserakan. Setelah membacakan jampi-jampi, dan berkat tuah Dang Tuanku, tengkorak-tengkorak    tersebut mampu menceritakan kisah mereka. Mereka sebelumnya adalah para pedagang    yang bepergian melalui bukit Tambun Tulang dan dibunuh para penyamun. Mereka    mendesak Cindua Mato untuk berbalik dan kembali, namun Cindua Mato menolak.    Tak lama sesudahnya para penyamun menyerang, namun dengan bantuan Si Binuang,    ia berhasil mengalahkan mereka. Para penyamun tersebut mengaku bahwa Imbang    Jayo, raja Sungai Ngiang, mempekerjakan mereka tak hanya buat memperkaya dirinya,    tetapi juga untuk memutus hubungan antara Pagaruyung dan Rantau Timur, dan dengan    demikian melempangkan rencananya untuk mengawini Puti Bungsu.

Kedatangan Cindua Mato menggembirakan keluarga Rajo Mudo, yang    berduka mendengar kabar penyakit Dang Tuanku. Kehadiran Cindua Mato dianggap    sebagai pertanda restu Bundo Kanduang atas perkawinan yang hendak dilangsungkan.

Dengan berpura-pura kesurupan Cindua Mato berhasil bertemu empat    mata dengan Puti Bungsu tanpa memancing kecurigaan keluarga Rajo Mudo. Mereka    percaya hanya Puti Bungsu saja yang mampu menenangkannya. Cindua Mato bertutur    pada Puti Bungsu bahwa Dang Tuanku mengirimnya untuk membawanya ke Pagaruyung,    karena ia sudah ditakdirkan untuk menikah dengan Dang Tuanku. Dalam pesta perkawinan    yang berlangsung, saat Imbang Jayo tengah berperan sebagai pengantin pria, Cindua    Mato melakukan hal-hal ajaib yang menarik perhatian lain dan menculik Puti Bungsu.    Cindua Mato membawanya ke Padang Ganting, tempat Tuan Kadi, anggota Basa Ampek    Balai yang mengurus soal-soal keagamaan bersemayam.

Dengan menculik Puti Bungsu Cindua Mato telah melanggar hukum    dan melampaui wewenangnya sebagai utusan Pagaruyung. Tuan Kadi lalu memanggil    anggota Basa Ampek Balai lainnya untuk membahas pelanggaran yang dilakukan Cindua    Mato. Namun pada pertemuan yang diadakan Cindua Mato menolak menjelaskan perbuatannya.

Basa Ampek Balai lalu menceritakan kejadian ini pada Bundo Kanduang,    yang murka pada kelakuan Cindua Mato. Namun ia masih tetap menolak menjawab.    Keempat menteri ini lalu memutuskan berunding dengan Raja Nan Duo Selo, Raja    Adat dan Raja Ibadat. Keduanya, mengetahui latar belakang kejadian tersebut,    sambil tersenyum menyuruh keempat menteri tersebut menyerahkan keputusan kepada    Dang Tuanku, Raja Alam.

Pada pertemuan berikutnya perdebatan terjadi antara Bundo Kanduang,    yang berteguh mempertahankan adat raja-raja, dan Dang Tuanku, yang menganjurkan    memeriksa alasan di balik tindakan Cindua Mato. Imbang Jayo telah menghina Dang    Tuanku dengan berusaha mengawini tunangannya, dan menceritakan fitnah. Sekarang    giliran Imbang Jayo buat dihina. Imbang Jayo juga mempekerjakan penyamun untuk    memperkaya dirinya dan memutus hubungan antara Minangkabau dan rantau timurnya.    Cindua Mato tak layak dihukum karena dia hanya alat untuk utang malu dibayar    malu.

Cindua Mato dilepaskan dari hukuman, dan rapat itu kemudian    membahas perkawinan antara Cindua Mato dan Puti Lenggo Geni, dan juga antara    Dang Tuanku dan Puti Bungsu. Setelah masa persiapan, perkawinan kerajaan tersebut    dilangsungkan di Pagaruyung, dilanjutkan dengan pesta yang dihadiri oleh banyak    pangeran dan raja dari segenap penjuru Pulau Perca.

Sementara itu, Imbang Jayo yang merasa dipermalukan oleh Cindua    Mato bersiap-siap menyerang Pagaruyung. Dengan senjata pusakanya, Cermin Terus    (camin taruih), dia menghancurkan sebagian negeri Pagaruyung. Cermin itu akhirnya    dipecahkan oleh panah sakti Cindua Mato. Ketika Imbang Jayo sibuk memperkuat    pasukannya Bundo Kanduang dan Dang Tuanku meminta Cindua Mato mengungsi ke Inderapura,    negeri di rantau Barat, dan dengan demikian tidak ada alasan lagi buat Imbang    Jayo memerangi Pagaruyung.

Geram karena gagal membalas dendam, Imbang Jayo lalu protes    pada Rajo Nan Duo Selo. Pada pertemuan yang dipimpin oleh kedua raja tersebut,    dan dihadiri oleh keempat menteri, Imbang Jayo mendakwa bahwa seorang anggota    keluarga kerajaan telah mempermalukan dirinya, sebuah pelanggaran yang tak termaafkan.    Namun raja-raja tersebut bertanya: siapa yang memulai penghinaan tersebut, apa    bukti dakwaan Imbang Jayo? Tuduhan terhadap anggota kerajaan tanpa bukti cukup    bukan soal main-main. Kedua raja akhirnya memutuskan Imbang Jayo dihukum mati.

Begitu mengetahui anaknya disuruh bunuh oleh Rajo Duo Selo,    ayah Imbang Jayo, Tiang Bungkuak, bersiap-siap membalas dendam. Cindua Mato    kembali dari Inderapura, dan Dang Tuanku memerintahkannya melawan Tiang Bungkuak.    Namun bila Cindua Mato gagal membunuhnya, dia harus bersedia menjadi hamba Tiang    Bungkuak, agar Istana Pagaruyung terlepas dari ancaman.

Pada suatu malam, saat menunggu serangan Tiang Bungkuak, Dang    Tuanku bermimpi bertemu seorang malaikat dari langit yang berkata dia, Bundo    Kanduang dan Puti Bungsu sudah waktunya meninggalkan dunia yang penuh dosa ini.    Pagi harinya Dang Tuanku mengisahkan mimpinya pada Bundo Kanduang dan Basa Ampek    Balai. Mengetahui waktu mereka sudah dekat, mereka mengangkat Cindua Mato sebagai    Raja Muda.

Cindua Mato menunggu Tiang Bungkuak di luar Pagaruyung, namun    dalam duel yang berlangsung dia tak mampu membunuh Tiang Bungkuak. Cindua Mato    lalu menyerah pada kesatria tua itu, dan mengikutinya ke Sungai Ngiang sebagai    budak. Pada saat yang sama sebuah kapal terlihat melayang di udara membawa Dang    Tuanku dan anggota keluarga kerajaan lainnya ke langit.

Suatu hari, ketika Tiang Bungkuak sedang tidur siang, Cindua    Mato membaca jampi-jampi dan berhasil mengungkap rahasia kekebalan Tiang Bungkuak    dari mulutnya sendiri. Ternyata Tiang Bungkuak hanya dapat dibunuh menggunakan    keris bungkuk (karih bungkuak) yang disembunyikan di bawah tiang utama rumahnya.    Cindua Mato mencuri keris itu lalu memancing Tiang Bungkuak agar berkelahi dengannya.    Dalam duel tersebut Cindua Mato berhasil membunuh Tiang Bungkuak dengan keris    curiannya.

Setelah kematian Tiang Bungkuak para bangsawan Sungai Ngiang    mengangkat Cindua Mato menjadi raja. Kemudian dia juga diangkat sebagai raja    Sikalawi, setelah Rajo Mudo turun tahta. Cindua Mato menikahi adik Puti Bungsu,    Puti Reno Bulan. Dari hasil pernikahannya ini Cindua Mato memperoleh puteri    yang diberi nama Puti Lembak Tuah dan putera yang diberi nama Sutan Lembang    Alam.

Setelah beberapa lama menghabiskan waktu di Rantau Timur, Cindua    Mato kembali ke Pagaruyung, untuk memerintah sebagai Raja Minangkabau. Dari    perkawinannya dengan Puti Lenggo Geni ia mendapatkan anak bernama Sutan Lenggang    Alam.

(sumber: http://www.urangminang.com )
 

Niniak Urang Minang Anak Puti Bidodari dari Sarugo (Sebuah Mitos ?)


Adopun warih nan bajawek    pusako nan batarimo umanaik nan bapakai dari rang tuo dahulunyo, nan sabarih    bapantang hilang satapak bapantang lupo, kok hilang nan sabarih ka guru cubo    tanyokan kok lupo nan satapak cari tunggue panabangan nyo. Adopun warih nan    Bajawek, pituah dek guru mangaji sajak dari Alif, pituah dek mamak babilang    sajak dari aso, na aso Allah duo bumi tigo hari nan satu ampek aie sumbayang    limo pintu razaki anam budak dikanduang bundonyo tujuah pangkek manusia salapan    pangkek sarugo sambilan pangkek Muhammaik kasapuluah Muhammaik jadi, sinan bakato    tuhan kito Kun katonyo Allah Fayakun kato Muhammaik Nabikun kato Jibraie yaa    Ibrahi kato bumi jo langik Kibrakum kato Adam,

Jadi sagalo pekerjaan, apo    bana nan tajadi, sajak dari Luah dengan Qalam sampai ka Arasy jo Kurisyi wago    sarugo jo narako walo nak bulan jo matohari walau ndak langik dengan bumi samuik    sameto sakalipun takanduang dalam wahdaniah tuhan, adolah limo parakaro, maanyo    nan limo parkaro, tanah baki, tanah baku, tanah hitam tanah merah jo tanah putiah,    tanah ditampo dek Jibraie dibaok mangirok kahadiraik tuhan talempa kahateh meja,    disinan bijo mangko kababatang sinannyo kapeh kamanjadi banang disitu langik    kamarenjeang naiak disitu bumi kamahantam turun disinan ketek mangko kabanamo    disinan gadang mangko kabagala disinan Adam nan batamponyo iyo kapanunggu isi    duya.

Dek lamo bakalamoan dekasa baasa juo dek bukik tumbuakan kabuik dek lauik ampang    muaro abih taun baganti taun mangko malahiekanlah ibu manusia Siti Hawa sabanyak    39 urang, mako dikawinkan dari saorang kasaorang dari nan surang ka nan surang    nan bunsu indak bajodoh mangko banazalah nabi Adam katiko itu Ya Allah ya rabbil    alamin perkenankanlah aku dengan anak cucu aku kasadonyo kandak sadang kabuliah    pintak sadang kabalaku mukasuik sadang disampai kan tuhan.

Bafirman tuhan ka Jibraie,    hai malaikaik jibraie mangirok engkau kasarugo nan salapan, kabakan ka anak    puti bidodari nan banamo Puti Dewanghari anak dek Puti Andarasan bahaso inyo    kadiambiak istri dek Sutan Rajo Alam diateh duya, mako mangiriok lah Jibraie    kasarugo nan salapan kamangabakan ka Puti Dewanghari bahaso inyo ka dijadikan    istri dek Sutan Rajo Alam diateh duya, mako mamandang lah Puti Dewanghari kaateh    duya nampaklah anak Adam diateh alam Sigumawang antaro huwa dengan hiya dikanduang    Abun jo Makbun wallahualam gadangnyo hati.

Mako dikumpuekanlah alat    perhiasan kasadonyo, apo alat perhiasan nan dibaok, iyolah payuang panji kuniang    payuang bahapik timba baliak lengkap sarato jo marawa kuniang cando kajajakan    bertatah intan dengan podi buatan urang disarugo, mako batamulah urang tu dipuncak    bukit Qaf.lalu dinikahkan dek kali Rambun Azali dipangka Titian Tujuah dibawah    Mejan nan kiramaik dibaka kumayan putiah asok manjulang kaudaro takajuik sakalian    malaikaik tacengang sagalo saluruah Bidodari manyemba kilek ateh langik bagaga    patuih diateh duya tarang bandarang cahayonyo lapeh kalangik nan katujuah tahantak    kahadiraik tuhan sabagai sasi pernikahannyo.

Dek lamo bakalamoan abih    bulan baganti bulan abih taun baganti taun, salah saurang anak cucu baliau nan    bagala Sutan Sikandarareni nan manjadi rajo kuaso sadaulat dunia mampunyoi katurunan    nan partamo Sutan Maharajo Alif kaduo Sutan Maharajo Depang katigo Sutan Maharajo    Dirajo, Sutan Maha Rajo Alif mamarentah Banuruhum, Sutan Maharajo Depang mamarentah    dinagari Cino sadangkan Sutan Maharajo Dirajo lapeh kapulau Paco mamarentah    di Pariangan Padang Panjang dipuncak gunuang Marapi mambagi nagari manjadi tigo    luhak partamo Luhak Tuo Tanah Data kaduo Luhak Agam nan bongsu Luhak Limo Puluah.

[B]Perjalanan Sutan Maharajo Dirajo[/B]

Adaopun Syekh Sikandareni    rajo alam nan arih bijaksano, mancaliak anak lah mulai gadang lah masak alemu    jo pangaja timbue pikiran dalam dado timbualah niaik didalam hati nak manyuruah    anak pai marantau mancari alimu jo pangalaman, mako tapikialah maso itu joa    anak nak kadilapeh balie dilauik basa, nampaklah sabatang kayu gadang tumbuah    dihulu batang Masie banamo kayu Sajatalobi, daun rimbun rantiangnyo banyak batang    panjang luruih pulo, tabik pangana andak manabangnyo kadibuek pincalang tigo    buah untuak palapeh anak pai marantau.

Mako dikumpuekanlah sagalo    cadiak pandai ditanah Arab dibaok kapak jo baliuang panabang kayu nantun, lah    banyak urang nan manabang lah tujuah baliuang sumbiang lah tigo puluah kapak    nan patah kayu nan indak kunjuang rabah, apolah sabab karanonyo rukun saraik    alun tabaokkan, datanglah urang cadiak pandai sarato jo urang arih bijaksano    maagiah pitunjuak jo pangaja, mako dikumpuakanlah urang katiko itu, didabiah    kibasy sarato unto dibaka kumayan putiah asok manjulang kaudaro, urang mandoa    kasadonyo.

Mamintaklah Sutan Sikandareni    katiko itu ya Allah ya rabbil alamin perkenankanlah aku manabang batang kayu    Sajatalobi untuak mengharungi lauik basa, kandak sadang kabuliah pintak kabalaku,    baguncanglah hulu batang Masie gampolah hari tujuah hari tujuah malam sahinggonyo    rabahlah batang kayu nantun, mako datanglah urang nan baalimu maambiak daun    jo batangnyo, daun diramu manjadi dawaik kulik diolah jadi karateh kapanulih    Quran tigopuluah juih untuak mangaji dek umaik nan banyak, kulik batangnyo diolah    manjadi kain untuak sumbayang panyambah Allah dengan rasul.

Lah rabah kayu Sajatalobi,    batangnyo dikarek tigo kapambuek pincalang tigo buah, sabuah kapincalang Sutan    Maharajo Alif nan cieklai untuak Sutan Maharajo Depang ciek pulo untuak Sutan    Maharajo Dirajo, hari patang malampun tibo dipanggie anak kasadonyo diagiah    pitujuak jo pangaja sarato baka pai marantau. Tantangan Sutan Majo Alih diagiah    baka Mangkuto Ameh Sijatajati, sadangkan Sutan Majo Depang diagiah baka pakakeh    tukang, adopun Sutan Majodirajo dibakali kitab barisi undang didalamnyo. Ayam    bakukuak subuah pun tibo pagi datang matohari tabik, barangkeklah anak katigonyo    marantau kakampuang urang.

Adopun tantang Sutan Maharajo    Alif tambonyo ditutuik samantaro, sadangkan Sutan Maharajo Depang carito dihantikan    sampai disiko, salorong pado Sutan Maharajo Dirajo taruih balaie ka Pulau Andaleh    nangko, sabalun Sutan Maharajo Dirajo pai mahadang silauik lapeh mandapek kawan    nan banamo Syekh Shole nan bagala Cati Bilang Pandai urang nan cadiak candokio    sarato arih bijaksano barasa dari hulu sungai Masie, dalam pajalanan singgahlah    Sutan di tanah Parsi, Himalaya, India, Campo jo Siam, mandapek pulo kawan nan    diangkek manjadi kapalo dubalang, nan surang bagala Harimau Campo nan kaduo    Kambiang Hutan nan katigo Kuciang Siam ampek bilangan jo Parewa nan bagala Anjiang    Mualim.

Adopun Cati bilang pandai,    pandai manarah manalakang pandai manjarum manjarumek pandai mamati jo aie liua    pandai manyisia dalam aie pandai manembak dalam kalam, kalam kapiek gilo buto,    basilang sajo palurunyo lah kanai sajo disasarannyo, pandai mambuek sambang    loji pakai pasak datang dari dalam alun diraiah lah tabukak lah tibo sajo dijangkonyo,    baitu pulo si Harimau Campo, urang bagak dari India, badan babulu kasadonyo,    urang takuik malawannyo makan tangannyo bak cando guruah, capek kakinyo bak    cando patuih tibo digunuang gunuang runtuah tibo dibatu batu tambuih pandai    manyambuik jo manangkok bisa mangipeh jo malapeh pandai basilek jo balabek jikok    malompek bak cando kilek, kok disabuik tantang si Kambiang Hutan, bak batanduak    dikapalonyo pandai balari ditangah rimbo tau di padang nan baliku tantu jo tanjuang    nan babalik tau jo lurah nan babatu tau jo aka nan kamambalik, babanak ka ampu    kaki, barajo di hati basutan di mato kareh hati Allahurabi,kok    pakaro hetong di balakang,

Dikaji pulo tantang si Kuciang    Siam, kok manyuruak dihilalang sahalai, maambiak indak kahilangan, bantuak bak    cando singo lalok, santiang manipu jo manepong, kok malangkah indak balasia,    malompek indak babuni, kunun lidahnyo indak baense, muluik manih bak tangguli    kok manggauik indak mangasan, lah padiah sajo mangko ka tau, baitu pulo tantang    si Anjiang Mualim, Parewa nan datang dari Himalaya, mato sirah bak cando sago    gigi tajam babiso pulo, angoknyo tahan larinyo kancang, pandai maintai di nan    tarang pandai mahangok dalam boncah, sabalun sampai pantang manyarah, pandai    manikam jajak tingga, jajak ditikam mati juo, bahiduang tajam bak sambilu, bia    kampuang lah papaga, inyo lah dulu sampai didalam.

[B]Catatan:[/B]
· Mangkuto Ameh Sijatajati yang berbentuk tanduk diabadikan masyarakat menjadi    tudung kepala kaum Bundo Kanduang di Ranah Minang.
 · Sutan Sikandar Reni dalam al Qur'an disebut Raja Iskandar Zulkarnain yang    artinya Raja yang mempunyai dua tanduk atau Alexander The Great King of Macedonia

(sumber : http://www.urangminang.com )

 

Talempong Batu


Talempong adalah alat musik tradisional minangkabau yang lazimnya terbuat dari kuningan dan bentuknya mirip dengan alat musik gamelan dari pulau Jawa. Biasanya talempong digunakan untuk mengiringi nyanyian ataupun tarian tradisional minangkabau. Bunyi dan alunan nada yang dikeluarkan akan membuat perantau merasa rindu kampung halamannya. Namun talempong yang satu ini berbeda sama sekali dengan talempong lazimnya karena terbuat dari batu dengan ukuran yang sangat besar dan sudah ada sejak zaman dahulu. Bunyi yang dihasilkan persis sama dengan alat musik talempong, sehingga dinamakan Batu Talempong Talang Anau,
Talempong Batu ini di jumpai dalam satu bangunan di halaman Balai Adat Nagari Talang Anau , banyaknya 6 (enam) buah batu yang tersusun rapi berjajar diatas bantalan yang terbuat dari bambu . Pada sebuah batu talempong tersebut terdapat sebuah lukisan telapak kaki, warna batu talempong itu hitam memudar laksana logam yang akan dipukul akan menimbulkan bunyi nyaring seperti nada alat musik tradisional Minangkabau yang terbuat dari logam yaitu Talempong. Lempengan batu yang berada di Talang Anau ini telah disusun sesuai dengan tangga nada yang dikeluarkan oleh masing-masing lempengan batu tersebut sehingga bisa dimainkan mengikuti irama lagu tradisional Minangkabau.
Berdasarkan cerita masyarakat setempat, konon batu talempong ini ditemukan pertama kali oleh seorang ulama bernama Syeikh Syamsudin. Waktu ditemukan ditaksir masyarakat sekitar abad 12 masehi, sewaktu syeikh ini bermimpi didatangi seorang berjubah putih, berjanggut panjang sampai kepusat dan memakai serban. Orang tua dalam mimpi Syeikh ini memberi tahu bahwa ada beberapa buah benda yang sekarang berserakan dalam hutan yang ditumbuhi Talang dan daun enau. Benda tersebut akan dapat memberi manfaat bagi anak cucu dan masyarakat kalau dapat dikumpulkan .
Ada sifat magic yang dimiliki oleh lempengan batu itu, yaitu sebelum dipukul atau dibunyikan maka batu ini harus diasapi dengan kemenyan putih. Apabila tidak dilakukan tatacara ini, niscaya lempengan batu ini tidak akan menimbulkan bunyi yang nyaring seperti talempong pada umumnya tetapi akan tetap berbunyi layaknya seperti batu biasa yang dipukul. Lebih celaka lagi apabila orang yang memukul batu tersebut melakukannya dengan rasa tidak percaya akan kegaiban dari batu tersebut serta meremehkannya, maka berdasarkan keterangan orang-orang disekitar lokasi si pemukul akan terkena kutukan berupa penyakit yang tidak akan bisa disembuhkan dan bisa merenggut nyawanya sendiri.
Lokasi Talempong Batu : Nagari Talau Anau ,Kecamatan Gunung Omeh, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat , ± 172,00 Km dari Padang.

 

Kota Padang Panjang

Kota Padang Panjang adalah salah satu kota yang terletak di provinsi Sumatera Barat, Indonesia dan merupakan kota dengan luas wilayah terkecil pada provinsi ini.
Kota ini juga memiliki julukan sebagai kota serambi mekah. Selain itu juga dikenal sebagai Mesir van Andalas.[3] Sementara wilayah administratif kota ini dikelilingi oleh wilayah administratif kabupaten Tanah Datar.

Kawasan kota ini sebelumnya merupakan bagian dari wilayah Tuan Gadang di Batipuh, pada masa Perang Padri kawasan ini diminta Belanda sebagai salah satu pos pertahanan dan sekaligus batu loncatan untuk menundukan kaum Padri yang masih menguasai kawasan Luhak Agam. Selanjutnya Belanda membuka jalur jalan baru dari kota ini menuju kota Padang karena lebih mudah dibandingkan melalui kawasan Kubung XIII di kabupaten Solok sekarang.
Kota ini pernah menjadi pusat pemerintahan sementara kota Padang, setelah kota Padang dikuasai Belanda pada masa agresi militer Belanda sekitar tahun 1947.[4]
 
Ryan Algafari. Diberdayakan oleh Blogger.